Nama :
Muhammad faezal arif
Kelas :
4EA26
Npm :
15213888
Moral merupakan pengetahuan yang
menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang
baik dan buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak). Moralisasi, berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan
dan kelakuan yang baik. Demoralisasi,
berarti kerusakan moral.
Menurut asal katanya “moral” dari
kata mores dari bahasa Latin,
kemudian diterjemahkan menjadi “aturan
kesusilaan”. Dalam bahasa sehari-hari, yang dimaksud dengan kesusilaan
bukan mores, tetapi
petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun dan tidak cabul. Jadi, moral
adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma kelakuan, perbuatan tingkah
laku yang baik. Kata susila
berasal dari bahasa Sansekerta, su
artinya “lebih baik”, sila
berarti “dasar-dasar”, prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan hidup. Jadi susila berarti peraturan-peraturan
hidup yang lebih baik.
Pengertian moral dibedakan dengan
pengertian kelaziman, meskipun dalam praktek kehidupan sehari-hari kedua
pengertian itu tidak jelas batas-batasnya. Kelaziman adalah kebiasaan yang baik tanpa pikiran panjang
dianggap baik, layak, sopan santun, tata krama, dsb. Jadi, kelaziman itu
merupakan norma-norma yang diikuti tanpa berpikir panjang dianggap baik, yang
berdasarkan kebiasaan atau tradisi.
Moral juga dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu:
1. Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatu pengejawantahan dari pancaran Ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.
2. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran filosofis, agama, adat, yang menguasai pemutaran manusia.
FAKTOR PENENTU MORALITAS
Sumaryono (1995) mengemukakan tiga factor penentu moralitas perbuatan manusia, yaitu:
1. Motivasi
2. Tujuan akhir
3. Lingkungan perbuatan
1. Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatu pengejawantahan dari pancaran Ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.
2. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran filosofis, agama, adat, yang menguasai pemutaran manusia.
FAKTOR PENENTU MORALITAS
Sumaryono (1995) mengemukakan tiga factor penentu moralitas perbuatan manusia, yaitu:
1. Motivasi
2. Tujuan akhir
3. Lingkungan perbuatan
Perbuatan manusia dikatakan baik
apabila motivasi, tujuan akhir dan lingkungannya juga baik. Apabila salah satu
factor penentu itu tidak baik, maka keseluruhan perbuatan manusia menjadi tidak
baik.
Motivasi adalah hal yang diinginkan para pelaku perbuatan dengan
maksud untuk mencapai sasaran yang hendak dituju. Jadi, motivasi itu
dikehendaki secara sadar, sehingga menentukan kadar moralitas perbuatan.
Sebagai contoh ialah kasus
pembunuhan dalam keluarga:
-
yang diinginkan pembunuh adalah matinya pemilik harta yang berstatus
sebagai pewaris
- Sasaran yang hendak dicapai adalah penguasa harta warisan
- Moralitas perbuatan adalah salah dan jahat
- Sasaran yang hendak dicapai adalah penguasa harta warisan
- Moralitas perbuatan adalah salah dan jahat
Tujuan
akhir (sasaran) adalah diwujudkannya
perbuatan yang dikehendakinya secara bebas. Moralitas perbuatan ada dalam
kehendak. Perbuatan itu menjadi objek perhatian kehendak, artinya memang
dikehendaki oleh pelakunya. Sebagai contoh, ialah kasus dalam pembunuhan
keluarga yang dikemukakan diatas:
-
perbuatan yang dikehendaki dengan bebas (tanpa paksaan) adalah membunuh.
- diwujudkannya perbuatan tersebut terlihat pada akibatnya yang diinginkan pelaku, yaitu matinya pemilik harta (pewaris)
- moralitas perbuatan adalah kehendak bebas melakukan perbuatan jahat dan salah.
- diwujudkannya perbuatan tersebut terlihat pada akibatnya yang diinginkan pelaku, yaitu matinya pemilik harta (pewaris)
- moralitas perbuatan adalah kehendak bebas melakukan perbuatan jahat dan salah.
Lingkungan
perbuatan adalah segala sesuatu yang secara aksidental mengelilingi atau mewarnai
perbuatan. Termasuk dalam pengertian lingkungan perbuatan adalah:
-
manusia yang terlihat
- kualiitas dan kuantitas perbuatan
- cara, waktu, tempat dilakukannya perbuatan
- frekuensi perbuatan
- kualiitas dan kuantitas perbuatan
- cara, waktu, tempat dilakukannya perbuatan
- frekuensi perbuatan
Hal-hal ini dapat diperhitungkan
sebelumnya atau dapat dikehendaki ada pada perbuatan yang dilakukan secara
sadar. Lingkungan ini menentukan kadar moralitas perbuatan yaitu baik atau
jahat, benar atau salah.
MORALITAS SEBAGAI NORMA
Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi, sehingga perbuatan
dikatakan baik atau buruk, benar atau salah. Penentuan baik atau buruk, benar
atau salah tentunya berdasarkan norma sebagai ukuran. Sumaryono (1995)
mengklasifikasikan moralitas menjadi dua golongan, yaitu:
1.
Moralitas objektif
Moralitas objektif adalah moralitas
yang terlihat pada perbuatan sebagaimana adanya, terlepas dari bentuk
modifikasi kehendak bebas pelakunya. Moralitas ini dinyatakan dari semua
kondisi subjektif khusus pelakunya. Misalnya, kondisi emosional yang
mungkinmenyebabkan pelakunya lepas control. Apakah perbuatan itu memang
dikehendaki atau tidak. Moralitas objektif sebagai norama berhubungan dengan
semua perbuatan yang hakekatnya baik atau jahat, benar atau salah. Misalnya:
-
menolong sesama manusia adalah perbuatan baik
- mencuri, memperkosa, membunuh adalah perbuatan jahat
Tetapi pada situasi khusus, mencuri atau membunuh adalah perbuatan yang dapat dibenarkan jika untuk mempertahankan hidup atau membela diri. Jadi moralitasnya terletak pada upaya untuk mempertahankan hidup atau membela diri (hak utnuk hidup adalah hak asasi).
2. Moralitas subjektif
Moralitas subjektif adalah moralitas yang melihat perbuatan dipengaruhi oleh pengetahuah dan perhatian pelakunya, latar belakang, stabilitas emosional, dan perlakuan personal lainnya. Moralitas ini mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak denga suara hati nurani pelakunya. Moralitas subjektif sebagai norma berhebungan dengan semua perbuatan yang diwarnai nait pelakunya, niat baik atau niat buruk. Dalam musibah kebakaran misalnya, banyak orang membantu menyelamatkan harta benda korban, ini adalah niat baik. Tetapi jika tujuan akhirnya adalah mencuri harta benda karena tak ada yang melihat, maka perbuatan tersebut adalah jahat. Jadi, moralitasnya terletak pada niat pelaku.
Moralitas dapat juga instrinsik atau ekstrinsik. Moralitas instrinsik menentukn perbuatan itu benar atau salah berdasarkan hakekatnya, terlepas dari pengaruh hokum positif. Artinya, penentuan benar atau salah perbuatan tidak tergantung pada perintah atau larangan hokum positif. Misalnya:
- gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal
- jangan menyusahkan orang lain
- berikanlah yang terbaik
Walupun Undang-undang tidak mengatur perbuatan-perbuatan tersebut secara instrinsik menurut hakekatnya adalah baik dan benar.
Moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah sesuai dengan sifatnya sebagai perintah atau larangan dalam bentuk hokum positif. Misalnya:
- larangan menggugurkan kandungan
- wajib melaporkan mufakat jahat
Perbuatan-perbuatan itu diatur oleh Undang-undang (KUHP). Jika ada yang menggugurkan kandungan atau ada mufakat jahat berarti itu perbuatan salah.
Pada zaman modern muali muncul perbuatan yang berkenaan dengan moralitas, yang tadinya dilarang sekarang malah dibenarkan. Contohnya:
- Euthanasia untuk menghindarkan penderitaan berkepanjangan.
- Aborsi untuk menyelamatkan ibu yang hamil.
- Menyewa rahim wanita lain untuk membesarkan janin bayi tabung.
- mencuri, memperkosa, membunuh adalah perbuatan jahat
Tetapi pada situasi khusus, mencuri atau membunuh adalah perbuatan yang dapat dibenarkan jika untuk mempertahankan hidup atau membela diri. Jadi moralitasnya terletak pada upaya untuk mempertahankan hidup atau membela diri (hak utnuk hidup adalah hak asasi).
2. Moralitas subjektif
Moralitas subjektif adalah moralitas yang melihat perbuatan dipengaruhi oleh pengetahuah dan perhatian pelakunya, latar belakang, stabilitas emosional, dan perlakuan personal lainnya. Moralitas ini mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak denga suara hati nurani pelakunya. Moralitas subjektif sebagai norma berhebungan dengan semua perbuatan yang diwarnai nait pelakunya, niat baik atau niat buruk. Dalam musibah kebakaran misalnya, banyak orang membantu menyelamatkan harta benda korban, ini adalah niat baik. Tetapi jika tujuan akhirnya adalah mencuri harta benda karena tak ada yang melihat, maka perbuatan tersebut adalah jahat. Jadi, moralitasnya terletak pada niat pelaku.
Moralitas dapat juga instrinsik atau ekstrinsik. Moralitas instrinsik menentukn perbuatan itu benar atau salah berdasarkan hakekatnya, terlepas dari pengaruh hokum positif. Artinya, penentuan benar atau salah perbuatan tidak tergantung pada perintah atau larangan hokum positif. Misalnya:
- gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal
- jangan menyusahkan orang lain
- berikanlah yang terbaik
Walupun Undang-undang tidak mengatur perbuatan-perbuatan tersebut secara instrinsik menurut hakekatnya adalah baik dan benar.
Moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah sesuai dengan sifatnya sebagai perintah atau larangan dalam bentuk hokum positif. Misalnya:
- larangan menggugurkan kandungan
- wajib melaporkan mufakat jahat
Perbuatan-perbuatan itu diatur oleh Undang-undang (KUHP). Jika ada yang menggugurkan kandungan atau ada mufakat jahat berarti itu perbuatan salah.
Pada zaman modern muali muncul perbuatan yang berkenaan dengan moralitas, yang tadinya dilarang sekarang malah dibenarkan. Contohnya:
- Euthanasia untuk menghindarkan penderitaan berkepanjangan.
- Aborsi untuk menyelamatkan ibu yang hamil.
- Menyewa rahim wanita lain untuk membesarkan janin bayi tabung.
● ETIKA
Kata etika, seringkali disebut pula dengan kata etik, atau ethics
(bahasa Inggris), mengandung banyak pengertian.
Dari segi etimologi (asal kata),
istilah etika berasal dari kata
Latin “Ethicos” yang berarti
kebiasaan. Dengan demikian menurut pengertian
yang asli, yang dikatakan baik
itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika adalah suatu ilmu yang
mebicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat
dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.
Etika juga disebut ilmu normative, maka dengan sendirinya berisi
ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Etika merupakan cabang filsafat yang mempelajari
pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah
kesusilaan, dan kadang-kadang orang memakai filsafat etika, filsafat moral atau filsafat susila. Dengan demikian dapat
dikatakan, etika ialah penyelidikan
filosofis mengenai kewajiban-kewajiban manusia dan hal-hal yang baik dan buruk.
Etika adalah penyelidikan
filsafat bidang moral. Etika
tidak membahas keadaan manusia, melainkan membahas bagaimana seharusnya manusia
itu berlaku benar. Etika juga
merupakan filsafat praxis manusia. etika
adalah cabang dari aksiologi,
yaitu ilmu tentang nilai, yang menitikberatkan pada pencarian salah dan benar
dalam pengertian lain tentang
moral.
Etika dapat dibedakan menjadi tiga macam:
1. etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian perbuatan seseorang.
2. etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya, seseorang dikatakan etis apabila orang tersebut telah berbuat kebajikan.
3. etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.
Kita juga sering mendengar istilah descriptive ethics, normative ethics, dan philosophy ethics.
a. Descriptive ethics, ialah gambaran atau lukisan tentang etika.
b. Normative ethics, ialah norma-norma tertentu tentang etika agar seorang dapat dikatakan bermoral.
c. Philosophy ethics, ialah etika sebagai filsafat, yang menyelidiki kebenaran.
Etika sebagai filsafat, berarti mencari keterangan yang benar, mencari ukuran-ukuran yang baik dan yang
buruk bagi tingkah laku manusia. Serta mencari norma-norma, ukuran-ukuran mana
susial itu, tindakan manakah yang paling dianggap baik. Dalam filsafat, masalah
baik dan buruk (good and evil)
dibicarakan dalam etika. Tugas etika
tidak lain berusaha untuk hal yang baik dan yang dikatakan buruk. Sedangkan tujuan etika, agar setiap manusia
mengetahui dan menjalankan perilaku, sebab perilaku yang baik bukan saja bagi
dirinya saja, tetapi juga penting bagi orang lain, masyarakat, bangsa dan
Negara, dan yang terpenting bagi Tuhan yang Maha Esa.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1988), etika dirumuskan
dalam tiga arti, yaitu;
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Bertens mengemukakan bahwa urutan tiga arti tersebut kurang kena,
sebaiknya arti ketiga ditempatkan didepan karena lebih mendasar daripada yang
pertama, dan rumusannya juga bisa dipertajam lagi.
Dengan demikian, menurut Bertens
tiga arti etika dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut juga sebagai “system nilai” dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya etika orang jawa, etika agama Buddha.
2. Etika dipakai dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik. Misalnya, Kode Etik Advokat Indonesia.
3. Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Arti etika disini sama dengan filsafat moral.
1. Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut juga sebagai “system nilai” dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya etika orang jawa, etika agama Buddha.
2. Etika dipakai dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik. Misalnya, Kode Etik Advokat Indonesia.
3. Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Arti etika disini sama dengan filsafat moral.
Dihubungkan dengan Etika Profesi Sekretaris, etika
dalam arti pertama dan kedua adalah relevan karena kedua arti tersebut
berkenaan dengan perilaku seseorang atau sekelompok profesi sekretaris.
Misalnya sekretaris tidak bermoral, artinya perbuatan sekretaris itu melanggar
nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku dalam kelompok sekretaris
tersebut. Dihubungkan dengan arti kedua, Etika Profesi Sekretaris berarti Kode
Etik Profesi Sekretaris.
Pengertian
etika juga dikemukakan oleh Sumaryono
(1995), menurut beliau etika berasal
dati istilah Yunani ethos yang
mempunyai arti adapt-istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari
pengertian tersebut, etika berkembang menjadi study tentang kebiasaan manusia
berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang
menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain
itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran
berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.
Berdasarkan perkembangan arti tadi, etika dapat dibedakan antara etika perangai dan etika moral.
1. Etika Perangai
Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambaran perangai manusia dalam kehidupan bermasyarakat di aderah-daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku.
Conto etika perangai:
- berbusana adat
- pergaulan muda-mudi
- perkawinan semenda
- upacara adat
2. Etika Moral
Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku yang baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral.
Contoh etika moral:
- berkata dan berbuat jujur
- menghargai hak orang lain
- menghormati orangtua dan guru
- membela kebenaran dan keadilan
- menyantuni anak yatim/piatu.
Etika moral ini terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran, dan kesadaran adalah suara hati nurani. Dalam kehidupan, manusia selalu dikehendaki dengan baik dan tidak baik, antara benar dan tidak benar. Dengan demikian ia mempertanggung jawabkan pilihan yang telah dipilihnya itu. Kebebasan kehendak mengarahkan manusia untuk berbuat baik dan benar. Apabila manusia melakukan pelanggaran etika moral, berarti dia berkehendak melakukan kejahatan, dengan sendirinya berkehandak untuk di hukum. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, nilai moral dijadikan dasar hukum positif yang dibuat oleh penguasa.
Etika Pribadi dan Etika Social
Dalam kehidupan masyarakat kita
mengenal etika pribadi dan etika social. Untuk mengetahui etika
pribadi dan etika social diberikan contoh sebagai berikut:
1) Etika Pribadi. Misalnya seorang yang berhasil dibidang usaha (wiraswasta) dan menjadi seseorang yang kaya raya (jutawan). Ia disibukkan dengan usahanya sehinnga ia lupa akan diri pribadinya sebagai hamba Tuhan. Ia mempergunakan untuk keperluan-keperluan hal-hal yang tidak terpuji dimata masyarakat (mabuk-mabukan, suka mengganggu ketentraman keluarga orang lain). Dari segi usaha ia memang berhasil mengembangkan usahanya sehinnga ia menjadi jutawan, tetapi ia tidak berhasil dalam emngembangkan etika pribadinya.
2) Etika Social. Misalnya seorang pejabat pemerintah (Negara) dipercaya untuk mengelola uang negara. Uang milik Negara berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Pejabat tersebut ternyata melakukan penggelapan uang Negara utnuk kepentingan pribadinya, dan tidak dapat mempertanggungjawabkan uang yang dipakainya itu kepada pemerintah. Perbuatan pejabat tersebut adalah perbuatan yang merusak etika social.
MANFAAT ETIKA
1. Dapat membantu suatu pendirian dalam beragam pandangan dan moral.
2. Dapat membantu membedakan mana yang tidak boleh dirubah dan mana yang boleh dirubah, sehingga dalam melayani tamu kita tetap dapat yang layak diterima dan ditolak mengambil sikap yang bisa dipertanggungjawabkan.
3. Dapat membantu seseorang mampu menentukan pendapat.
4. Dapat menjembatani semua dimensi atau nilai-nilai yang dibawa tamu dan yang telah dianut oleh petugas.
Setelah kita mengetahui tentang etika dan moral, bagaimanakah hubungan antara etika dan moral tersebut?
Moral adalah kepahaman atau pengertian mengenai hal yang baik dan
hal yang tidak baik. Sedangkan etika adalah tingkah laku manusia, baik mental
maupun fisik mengenai hal-hal yang sesuai dengan moral itu.
Etika adalah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban manusia
serta hal yang baik dan yang tidak baik. Bidang inilah yang selanjutnya disebut
bidang moral.
Objek
etika adalah pernyataan-pernyataan moral.
Oleh karena itu, etika bisa juga dikatakan sebagai filsafat tentang
bidang moral. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana
manusia harus bertindak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar